Mata uang tunggal di kawasan Eropa, euro telah menguat sekitar 12–15% terhadap dolar AS sepanjang 2025. Penguatan euro ini memberi ruang bagi ECB untuk menahan laju suku bunga dan bahkan cenderung untuk memangkasnya, guna meredam dampak inflasi. Meurut para analis dan pelaku pasar saat ini memperkirakan suku bunga acuan tetap di level netral 2% pada pertemuan Juli.
ECB telah melakukan delapan kali pemangkasan sejak Juni 2024, yang terakhir terjadi pada 5 Juni 2025 dari 2,25% ke 2,0%. Presiden ECB Christine Lagarde menegaskan pendekatan kebijakan yang “berdasarkan data”, terutama terkait jalan negosiasi dagang AS dan isu geopolitik.
Ancaman tarif AS yang bisa mencapai hingga 30% diperkirakan memiliki potensi melemahkan/menghambat pertumbuhan ekonomi zona euro hingga –0,5 % hingga –0,7 % dalam satu tahun. Padahal saat ini, kondisi PDB zona euro berada di angka 1,5%. Ini merupakan risiko perlambatan pertumbuhan dan disinflasi.

Survei ECB yang dilakukan pada 21 Juli 2025 mengungkapkan bahwa sebanyak 30% perusahaan mengalami gangguan pasokan sehingga menyebabkan restrukturisasi rantai pasokan lebih condong ke pasar domestik dan UE. Ini menekan margin perusahaan, terutama di sektor manufaktur dan UKM.
Sementara laporan ECB dalam Review Stabilitas Financial Mei 2025 menyebut ketidakpastian kebijakan dagang dapat memperlemah kepercayaan, meningkatkan volatilitas, dan membebani bank melalui penurunan harga saham, kenaikan CDS spread, serta rasio non-performing loan. Dampak ini bisa memicu tekanan sistemik jika tidak diantisipasi, yang menyasar sektor Keuangan dan Perbankan.
Krisis geopolitik yang masih terjadi di Ukraina karena invasi Rusia, memicu lonjakan harga energi dan pangan hingga akhir 2024. ECB memvisualisasikan bahwa pergeseran geopolitik ini memperpanjang tekanan inflasi, meskipun tekanan tersebut kini mulai mereda.
Ini memaksa berbagai proyek dan kebijakan UE untuk mengurangi ketergantungan pada energi Rusia sebagai upaya mitigasi jangka panjang terhadap "supply shock", namun efeknya masih terasa pada harga energi global hingga 2025.
Kita bisa mengerucutkan beberapa faktor yang menjadi pertimbangan bagi ECB dalam menentukan kebijakannya. Fator tersebut yaitu, penguatan euro, traif AS dan krisis geopolitik Ukraina.
Jika terjadi penguatan euro yang terus menerus maka ECB bisa memangkas suku bunganya untuk meredam inflasi karena nilai mata uang yang terlalu kuat mampu mengurangi daya saing ekspor.
Sementara itu, dampak dari tarif AS bisa merusak pertumbuhan negara-negara di UE dan memicu terjadinya disinflasi dan gangguan rantai pasokan. Untuk itu, ECB terpaksa harus memangkas suku bunganya tergantung laporan ekonomi yang masuk.
ECB memiliki tantangan hebat dimana kondisi dilematis harus dihadapi. ECB bisa memilih merangsang pertumbuhan tanpa mengabaikan risiko inflasi dari kejutan faktor eksternal. Atau mengabaikan inflasi temporer yang disebabkan oleh tarif AS dengan asumsi dasar bahwa harapan inflasi tetap stabil.
ECB kemungkinan menahan suku bunga di 2,15% dalam jangka pendek, kemudian mempersiapkan kebijakan berikutnya dengan pemangkasan JIKA tekanan dari tarif AS atau perlambatan global memburuk. Kesenjangan antara inflasi inti dan target 2% ditambah paparan pada risiko finansial menandai tantangan besar bagi zona euro di tengah krisis geopolitik dan risiko proteksionisme global.

EURUSD
Jika ECB mempertahankan suku bunganya, sesuai perkiraan saat ini, maka EUR bisa tetap stabil dengan bias bullish. Namun jika ECB memangkas suku bunganya maka akan melemahkan nilai EUR dan memperlebar jarak suku bunga riil dengan Fed.

EURJPY
Jika ECB mempertahankan suku bunganya, maka EUR kemungkinan tetap stabil terhadap JPY. Begitu juga jika ECB memangkas suku bunganya, maka sikap BOJ yang ultra-dovish, tidak akan memberikan banyak peluang pergerakan pada pair EURJPY.

EURGBP
Sikap BOE yang lebih hawkish dari ECB, ini bisa memicu pair EURGBP bergerak turun dan jika ECB mempertahankan suku bunganya saat ini, maka kemungkinan pair ini akan stabil dengan bias bearish.
